Apakah anda pernah menonton film Independence Day? Kemungkinan besar pernah. Film ini menceritakan usaha negara adidaya, Amerika Serikat, menyelamatkan negaranya dari cengkraman dan invasi mahluk luar angkasa yang saat itu akan mengancam keberlangsungan hidup manusia di bumi. Semangat kepahlawanan pun digambarkan dengan berbagai pengorbanan untuk mempertahankan kebebasan penduduk bumi dari penjajahan mahluk luar angkasa.
Definisi Independen
Secara umum independensi didefinisikan sebagai kebebasan dari pengaruh, instruksi/pengarahan, atau kontrol dari pihak-pihak lain. Menurut Meyer (2000) dalam ceramahnya yang berjudul The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability, independensi adalah kebebasan dari pengaruh, instruksi/pengarahan, atau kontrol, baik dari badan eksekutif maupun dari badan legislatif. Sebuah lembaga independen diciptakan agar lembaga ini memiliki kedudukan yang berada di luar lembaga pemerintah dan bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain.
Lembaga Independen
Indonesia memiliki beberapa lembaga non departemen yang dibentuk untuk melaksanakan tugas secara independen bebas dari campur tangan pihak-pihak tertentu, sebut saja, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), komisi Ombudsman dan beberapa badan independen lainnya. Kalau dihitung-hitung, jumlah lembaga-lembaga ini cukup banyak dan fungsinya ada beberapa yang bersinggungan dengan instansi/lembaga yang saat ini ada. Contoh KPK, lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk menyidik dan menuntut perkara pidana korupsi, padahal instansi lain seperti kepolisian dan kejaksaan juga memiliki wewenang yang sama untuk menyidik dan menuntut perkara pidana korupsi.
Kemungkinan di hati kecil kita muncul pertanyaan, “Apa perlunya komisi/lembaga tersebut untuk masyarakat Indonesia?” Jika berpikir konstruktif pembentukan lembaga-lembaga ini dapat diterjemahkan sebagai jawaban untuk memastikan bahwa demokratisasi dan keadilan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lembaga ini juga dapat menjadi solusi untuk menjawab permasalah publik yang tidak dapat diselesaikan oleh instansi yang ada saat ini. Jika berpikiran kritis, pembentukan lembaga-lembaga ini motifnya tidak jauh dari bagi-bagi kue kekuasaan. Mirip dengan pola pemekaran wilayah provinsi, karena pada akhir perebutan tersebut yang dicari adalah kekuasaan dan kekayaan. Setiap lembaga yang dibentuk pada akhirnya akan menggunakan beban anggaran Negara. Sehingga setiap rupiah yang diperoleh Negara dalam bentuk pajak akan dipakai untuk membiayai gaji-gaji para anggota/pegawai lembaga-lembaga tersebut.
Tercetusnya Ide OJK
Pembentukan OJK sebenarnya hanya akan menambah koleksi lembaga independen di Indonesia dan secara politis juga dapat dilihat sebagai bentuk legitimasi penyerahan kekuasaan dan kewenangan kepada sebuah lembaga yang dianggap lebih kredibel. Mari kita ingat kejadian yang memancing kemunculan ide OJK. Lembaga baru ini dimunculkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, karena ketika itu Bank Indonesia (BI) dinilai gagal dalam melakukan pengawasan terhadap sektor perbankan sehingga terjadi krisis di tahun 1997. Padahal kegagalan ini bukan sepenuhnya dosa BI, karena pada waktu itu posisi BI merupakan bagian dari pemerintah, yaitu berada di bawah Departemen Keuangan. Pada masa itu, Bank Indonesia hanya menjadi pelaksana berbagai keputusan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, antara lain melaksanakan pengawasan atas nama Menteri Keuangan.
OJK Bukan Solusi Relevan
Usulan untuk membentuk OJK merupakan solusi untuk memperbaiki kegagalan BI dalam melakukan pengawasan sektor perbankan pada waktu itu. Usul ini wajar diangkat karena ketika itu BI masih di bawah bayang-bayang Departemen Keuangan. Namun setelah BI memiliki independensi maka usul pembentukan OJK sudah tidak relevan untuk tetap dipertahankan mengingat banyak perubahan yang telah dilakukan BI dari pola pengawasan dan pengaturan di industri perbankan.
Beberapa ketentuan yang dibuat oleh BI sejak tahun 1999 hingga sekarang membawa perubahaan yang cukup signifikan terutama dalam penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank. Pengawasan Bank Indonesia yang dilakukan juga mengacu kepada prinsip-prinsip internasional yang dikenal dengan Basel Core Principles. Dengan demikian permasalahan kepercayaan masyarakat, solvabilitas, dan profitabilitas yang dihadapi perbankan pada masa krisis tahun 1997 telah dapat diantisipasi oleh BI dengan berbagai program kerja untuk melakukan penyehatan perbankan sejak tahun 1999.
Tak Ada Gading yang Tak Retak
Pada tahun 2008, ketika terjadi krisis keuangan di negeri Paman Sam, Indonesia hampir mengalami kejadian dejavu seperti tahun 1997. Walaupun begitu, dengan penanganan yang baik, sebuah penyelamatan telah dilakukan untuk menghindari krisis kepercayaan masyarakat dengan menyelamatkan Bank Century. Penyelamatan ini rupanya menjadi cacat yang dimanfaatkan oleh para politisi untuk “meniadakan” seluruh kerja keras BI dalam usaha menyehatkan industri perbankan sejak tahun 1999. Padahal seorang ekonom dari perbankan Mirza Adityaswara (Kompas, 5/1/2010) menyatakan bahwa banyak orang mengatakan bahwa krisis 2008 tidak sama dengan krisis 1998. Tapi bagi praktisi di industri keuangan dengan melihat runtuhnya pasar keuangan dan industri perbankan di Amerika pada tahun 2008 yang lalu adalah sesuatu yang sangat menakutkan dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Bank Indonesia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena semua mata melihat kegagalan Bank Century adalah ketidakprofesionalan pengawas dan pimpinan BI. Padahal dibalik Bank Century juga ada andil kegagalan Bapepam-LK yang tidak segera mengendus kejahatan PT Antaboga Delta Sekuritas dalam melakukan praktek curang penjualan reksadana fiktif. Kesalahan semua tertuju ke BI, karena penjualan tersebut melibatkan kantor cabang Bank Century sebagai agen penjual reksadana fiktif tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Perbanas Sigit Pramono dalam (Bisnis Indonesia, 24/12/2009),” Dia menyampaikan pada intinya pengawasan BI kepada perbankan sudah cukup ketat. Namun, lanjutnya, jika ada satu bank yang dinyatakan bobrok dan lolos dari pengawasan itu perlu diteliti lebih mendalam, tetapi bukan sistem secara mendasar”.
Dimana Independensi OJK?
Sekarang tinggal menunggu waktu RUU OJK tersebut dibahas dan disahkan oleh DPR. Berdasarkan informasi yang beredar di media massa, stuktur organisasi di OJK tersebut akan dipimpin oleh Dewan Komisioner yang diusulkan oleh Menteri Keuangan (Bisnis Indonesia, 27/4/2010). OJK dalam menjalankan organisasi dipimpin oleh dewan komisioner yang beranggotakan sembilan orang. Terdiri satu orang ketua, tiga anggota independen, satu orang ex officio dari BI, satu orang ex officio Kementerian Keuangan dan tiap satu orang kepala eksekutif dari tiga bidang pengawasan. Dalam hal ini Menteri Keuangan memiliki kewenangan lebih banyak untuk mengusulkan anggota komisioner, yakni dari komisioner independen dan ex officio, sedangkan BI hanya ex officio dari dewan gubernur BI. Adapun, komisioner dari kepala eksekutif diambil kalangan internal.
Jika kita melihat konsep RUU tersebut, semangat independen yang dirancang bagi OJK sebenarnya hanya teori bahkan bisa jadi hanya di atas kertas. Penyebabnya tidak lain faktor kewenangan Menteri untuk mengusulkan "orang-orang" pilihannya. Mari kita melihat kembali sejarah BI, ketika Undang-Undang No.13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia masih berlaku. Analogi ini hampir sama karena pengangkatan Direksi BI diusulkan oleh Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan. Dengan demikian konsep OJK ini sebenarnya ingin mengulang nostalgia kekuasaan Departemen Keuangan ketika adanya Dewan Moneter.
Tidak ada lembaga yang benar-benar independen di Indonesia karena pimpinan dari lembaga-lembaga independen ini lebih banyak dipilih karena faktor-faktor politis. Hal ini juga tidak lepas dari mekanisme fit and proper test yang tidak selalu melihat rekam jejak (track record) sang calon pemimpin. Faktor like and dislike masih menjadi kriteria utama dalam penentuan pemenang. Apalagi dengan konsep RUU OJK, sang calon pemimping disaring berdasarkan "kriteria" yang ditetapkan Menteri Keuangan. Dengan demikian independensi tersebut sangat tergantung dari integritas sang Menteri Keuangan. Di Jepang, seorang kepala Financial Services Agency (FSA) berani mundur dari jabatannya supaya tidak berkompromi dengan sesuatu yang tidak benar untuk mempertaruhkan kredibilitasnya. Sayang budaya ini tidak terjadi di Indonesia, karena kembali lagi yang dipikirkan itu kekuasaan, bukan kemaslahatan masyarakat.
Selain dari sisi kepemimpinan, Berdasarkan RUU OJK bab II Pasal 32 Ayat 1 disebutkan rencana kerja dan anggaran OJK akan dibiayai dari fee industri jasa keuangan (Bisnis Indonesia, 28/4/2010). Pendanaan operasionalisasi OJK yang direncanakan menggunakan manajemen fee yang dipungut dari industri keuangan menjadi salah satu unsur yang melemahkan independensi. Hal ini tentunya sudah menurunkan derajat independensi OJK, karena sangat bergantung pada pembayaran fee dari tiap lembaga yang diatur. Independensi yang diidam-idamkan akan terpasung oleh setoran fee tersebut. Contoh paling nyata adalah hubungan antara wajib pajak dan pengawas pajak. Walaupun mengantongi kekuatan secara legal untuk melakukan pengawasan pajak, tetap saja ada pengawas pajak yang kerepotan dalam menghadapi wajib pajak nakal.
Hubungan OJK dengan lembaga yang diawasi nantinya juga dapat dianalogikan seperti pengawas pajak dan wajib pajak. Seperti yang diungkapkan Ibu Sri Mulyani dalam (Kompas, 14/5/2010), kesulitan besar pengawas pajak terjadi ketika menagih pajak orang-orang sangat kaya di Indonesia. Budaya aparat pajak yang enggan mendatangi kediaman orang kaya hingga masalah legal yang sengaja digunakan untuk menghambat aparat pajak menjadi penyebab utama sulitnya pengumpulan penerimaan pajak. Kemungkinan besar hal ini juga akan dihadapi oleh OJK, para pengawas OJK juga akan lemah secara psikologis ketika menghadapi institusi keuangan besar karena gaji dan seluruh fasilitasnya dibayar oleh jasa industri keuangan.
Para pengusung RUU OJK kelihatannya juga tidak melihat sensitifitas dan empati terhadap dampak yang dimunculkan jika OJK ini ada. Apakah mereka tidak memikirkan berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk mempersiapkan infrastruktur OJK? Siapa yang menanggung semua biaya ini? Sudah pasti jawabannya rakyat Indonesia tercinta yang taat membayar pajak baik secara langsung maupun tidak langsung. Berapa lagi anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membesarkan OJK? Sementara tanpa ada OJK, lembaga yang ada saat ini juga bisa bekerja dengan baik dengan perbaikan-perbaikan dan pengawasan dari seluruh masyarakat.
Efektifitas OJK
Siapakah yang berani menjamin dengan adanya pengawasan seluruh lembaga keuangan di OJK maka pengawasan menjadi lebih efektif dan efisien? pasti tidak ada yang berani menjamin 100% , karena dunia ini selalu berubah. Parlemen Inggris saja mulai mempertanyakan efektifitas keberadaan FSA atau OJK dan sedang merencanakan mengembalikan fungsi pengawasan ke Bank Sentral. Teori-teori yang pernah diutarakan 10 tahun lalu belum tentu relevan menjadi dasar pemikiran saat ini. Belum lama ini ada sebuah penelitian bahwa memutar musik Mozart tidak akan meningkatkan kecerdasan seseorang, padahal dahulu sering diberitakan dengan memutar musik Mozart pada usia dini kehamilan dapat meningkatkan kecerdasan anak. Semua mengalami perubahan, hanya perubahan itu yang tidak pernah berubah.
Pemimpin dan para politisi di negeri ini juga harus diingatkan kembali cara mengelola negara secara efektif dan efisien. Sikap kewirausahaan (entrepreneurship) jangan diterapkan dalam mengelola negara, dengan cara membuka lowongan pekerjaan melalui pendirian lembaga baru. Seorang dosen pernah mengajarkan cara mudah membedakan antara efektif dan efisien dengan contoh sederhana yaitu membunuh tikus dengan bom nuklir atau racun. Membunuh tikus dengan bom nuklir itu efektif namun tidak efisien. Mengorbankan uang rakyat hanya untuk memenuhi ide sekelompok orang yang merasa benar dengan ide OJK tentunya tidaklah bijaksana. Apalagi jika ide tersebut karena berdasarkan hasil studi banding dari negara lain yang dilakukan pada 10 tahun yang lalu.
Apa yang baik di negeri orang, belum tentu baik di negeri kita. Coba dilihat negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura, Philipina, di negara tetangga kita ini pengawasan perbankannya tetap berada di Bank Sentral. Mereka tidak terlalu sibuk membentuk lembaga-lembaga baru karena penguatan lembaga yang sudah ada dengan Good Corporate Governance (GCG) dilakukan secara konsisten. Kemudian bagaimanakah keberhasilan negara yang menganut paham OJK mengelola sistem keuangannya? Salah satu contoh Inggris, sebagai salah satu negara yang memiliki otoritas khusus dalam pengawasan Bank ternyata juga tidak berhasil dalam meredam krisis yang terjadi pada salah satu bank di sana. Kemudian Amerika, dengan berbagai macam lembaga pengawas keuangan yang katanya professional ternyata juga gagal mengendus kejahatan para banker di Lehman Brothers, Fannie Mae dan Freddie Mac. Jadi sebenarnya tidak ada gading yang tak retak. Setiap bentuk pengawasan pasti ada kelemahannya. Maling pasti lebih cerdas daripada penegak hukum.
Komunikasikan Perbaikan yang Ada di BI
Dalam sebuah teori continuous improvement sebuah perbaikan harus terus dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu dari hal yang kecil untuk mencapai hal yang besar. Bank Indonesia sejak tahun 1953, berdasarkan pada Undang-Undang No. 11 tahun 1953 tentang Bank Indonesia, sudah menjadi penentu kebijakan perbankan dan punya andil yang besar dalam perkembangan perbankan. Perbaikan yang telah dilakukan juga sudah banyak. Sementara industri keuangan lainnya, yang baru tumbuh kemudian sedikit banyak mempengaruhi transaksi di industri perbankan. BI sudah banyak melakukan perbaikan-perbaikan dari sisi pengawasan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat. Kerja keras dan usaha yang sudah dibangun oleh BI kenapa harus dirampas oleh sebuah Undang-Undang OJK dengan dalih bahwa apa yang dikerjakan oleh BI tidak “becus”.
Kalau boleh bertanya kembali apakah Departemen Keuangan juga sudah profesional mengawasi praktek-praktek manipulatif di lembaga-lembaga keuangan non bank? Atau apakah Bapepam-LK juga sudah profesional mengelola pasar modal dengan sebaik-baiknya sehingga tidak terjadi praktek-praktek insider trading atau sejenisnya? Kita harus berani mengatakan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan dunia bahwa banyak perbaikan yang telah BI lakukan sejak independen. Sebutan "Sarang Penyamun" bagi BI harus segera dihilangkan dengan berbagai strategi komunikasi dan re-branding image BI. Jangan mau sebutan "Sarang Penyamun" ini selalu dijadikan alat oleh para politisi ataupun kelompok-kelompok yang tidak suka dengan BI.
Dibalik ide OJK ini sebenarnya yang diperlukan adalah penguatan koordinasi dan perbaikan proses bisnis (Business Process Reengineering) di masing-masing instansi. Tidak perlu dilakukan pembentukan OJK, karena lembaga-lembaga yang ada saat ini sebenarnya mampu menjawab tantangan tersebut asalkan setiap lembaga memiliki cara pandang dan tujuan yang sama yaitu kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Momentum Krisis Eropa
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Bila kita sepakat untuk mempertahankan fungsi pengawasan bank tetap berada di BI maka masih ada waktu untuk memanfaatkan momentum krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika untuk mempertanyakan kembali urgensi keberadaan OJK. Apalagi di Amerika dan Inggris sendiri sedang terjadi reformasi undang-undang di bidang keuangan di mana catatan paling penting justru memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Bank Sentral untuk mengawasi lembaga keuangan dengan aset besar terutama yang berbentuk konglomerasi.
Walaupun peluang itu kecil namun jika kita pandai memanfaatkan momentum yang ada tentunya dengan strategi komunikasi dan edukasi yang konsisten dapat mengubah keadaan dan cara pandang para politisi dan seluruh rakyat Indonesia terhadap keberadaan BI dan OJK. Hitler saja pernah berkata, "Kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran." Apalagi jika yang kita sampaikan itu adalah suatu kebenaran, tentunya akan menjadi pembenaran yang tak terbantahkan oleh siapapun.
Mari kita edukasi seluruh stakeholder di negara ini secara konsisten bahwa lebih banyak positif dan manfaat pengawasan bank tetap berada di BI, daripada harus menuruti amanat undang-undang BI untuk membentuk lembaga superbodi OJK yang belum tentu juga membawa manfaat untuk rakyat Indonesia. Pegawai BI pun rakyat Indonesia, yang suaranya juga harus didengar oleh para wakil rakyat. Dan yang perlu diingat lagi adalah Undang-Undang BI buatan manusia, yang sudah pasti tidak lekang sepanjang zaman.
Namun jika OJK tetap hadir patutlah kita bertanya sebenarnya keberadaan OJK ini karena kebutuhan rakyat Indonesia atau kebutuhan kelompok tertentu?
Menutup tulisan ini, kemenangan negara Amerika melawan mahluk luar angkasa pada film Independence Day ditunjukkan dengan semangat pengorbanan dan segala usaha yang dapat dilakukan hingga detik-detik terakhir sebelum invasi tersebut terjadi. Analogi dengan kondisi tersebut, selama belum ada ketok palu di DPR, kenapa kita tidak terus berjuang untuk yang kita yakini benar.
Sumber :
Meyer, The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability, http://www.federalreserve.gov/boarddocs/speeches/2000/20001024.htm,2000.
Asworo, BI tidak atur bank: OJK bisa pekerjakan penyidik, Bisnis Indonesia 27/4/2010.
Asworo, OJK dibiayai industri keuangan: Penempatan dana hanya ke obligasi pemerintah dan instrumen BI, Bisnis Indonesia 28/4/2010.