Rabu, 28 Desember 2011

Mempertanyakan Independensi OJK (tulisan lama, masih layak baca)

Apakah anda pernah menonton film Independence Day? Kemungkinan besar pernah. Film ini menceritakan usaha negara adidaya, Amerika Serikat, menyelamatkan negaranya dari cengkraman dan invasi mahluk luar angkasa yang saat itu akan mengancam keberlangsungan hidup manusia di bumi. Semangat kepahlawanan pun digambarkan dengan berbagai pengorbanan untuk mempertahankan kebebasan penduduk bumi dari penjajahan mahluk luar angkasa.
Definisi Independen
Secara umum independensi didefinisikan sebagai kebebasan dari pengaruh, instruksi/pengarahan, atau kontrol dari pihak-pihak lain. Menurut Meyer (2000) dalam ceramahnya yang berjudul The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability, independensi adalah kebebasan dari pengaruh, instruksi/pengarahan, atau kontrol, baik dari badan eksekutif maupun dari badan legislatif. Sebuah lembaga independen diciptakan agar lembaga ini memiliki kedudukan yang berada di luar lembaga pemerintah dan bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain.
Lembaga Independen
Indonesia memiliki beberapa lembaga non departemen yang dibentuk untuk melaksanakan tugas secara independen bebas dari campur tangan pihak-pihak tertentu, sebut saja, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), komisi Ombudsman dan beberapa badan independen lainnya. Kalau dihitung-hitung, jumlah lembaga-lembaga ini cukup banyak dan fungsinya ada beberapa yang bersinggungan dengan instansi/lembaga yang saat ini ada. Contoh KPK, lembaga ini dibentuk dengan tujuan untuk menyidik dan menuntut perkara pidana korupsi, padahal instansi lain seperti kepolisian dan kejaksaan juga memiliki wewenang yang sama untuk menyidik dan menuntut perkara pidana korupsi.
Kemungkinan di hati kecil kita muncul pertanyaan, “Apa perlunya komisi/lembaga tersebut untuk masyarakat Indonesia?” Jika berpikir konstruktif pembentukan lembaga-lembaga ini dapat diterjemahkan sebagai jawaban untuk memastikan bahwa demokratisasi dan keadilan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lembaga ini juga dapat menjadi solusi untuk menjawab permasalah publik yang tidak dapat diselesaikan oleh instansi yang ada saat ini. Jika berpikiran kritis, pembentukan lembaga-lembaga ini motifnya tidak jauh dari bagi-bagi kue kekuasaan. Mirip dengan pola pemekaran wilayah provinsi, karena pada akhir perebutan tersebut yang dicari adalah kekuasaan dan kekayaan. Setiap lembaga yang dibentuk pada akhirnya akan menggunakan beban anggaran Negara. Sehingga setiap rupiah yang diperoleh Negara dalam bentuk pajak akan dipakai untuk membiayai gaji-gaji para anggota/pegawai lembaga-lembaga tersebut.
Tercetusnya Ide OJK
Pembentukan OJK sebenarnya hanya akan menambah koleksi lembaga independen di Indonesia dan secara politis juga dapat dilihat sebagai bentuk legitimasi penyerahan kekuasaan dan kewenangan kepada sebuah lembaga yang dianggap lebih kredibel. Mari kita ingat kejadian yang memancing kemunculan ide OJK. Lembaga baru ini dimunculkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, karena ketika itu Bank Indonesia (BI) dinilai gagal dalam melakukan pengawasan terhadap sektor perbankan sehingga terjadi krisis di tahun 1997. Padahal kegagalan ini bukan sepenuhnya dosa BI, karena pada waktu itu posisi BI merupakan bagian dari pemerintah, yaitu berada di bawah Departemen Keuangan. Pada masa itu, Bank Indonesia hanya menjadi pelaksana berbagai keputusan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, antara lain melaksanakan pengawasan atas nama Menteri Keuangan.
OJK Bukan Solusi Relevan
Usulan untuk membentuk OJK merupakan solusi untuk memperbaiki kegagalan BI dalam melakukan pengawasan sektor perbankan pada waktu itu. Usul ini wajar diangkat karena ketika itu BI masih di bawah bayang-bayang Departemen Keuangan. Namun setelah BI memiliki independensi maka usul pembentukan OJK sudah tidak relevan untuk tetap dipertahankan mengingat banyak perubahan yang telah dilakukan BI dari pola pengawasan dan pengaturan di industri perbankan. 
Beberapa ketentuan yang dibuat oleh BI sejak tahun 1999 hingga sekarang membawa perubahaan yang cukup signifikan terutama dalam penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank. Pengawasan Bank Indonesia yang dilakukan juga mengacu kepada prinsip-prinsip internasional yang dikenal dengan Basel Core Principles. Dengan demikian permasalahan kepercayaan masyarakat, solvabilitas, dan profitabilitas yang dihadapi perbankan pada masa krisis tahun 1997 telah dapat diantisipasi oleh BI dengan berbagai program kerja untuk melakukan penyehatan perbankan sejak tahun 1999.
Tak Ada Gading yang Tak Retak
Pada tahun 2008, ketika terjadi krisis keuangan di negeri Paman Sam, Indonesia hampir mengalami kejadian dejavu seperti tahun 1997. Walaupun begitu, dengan penanganan yang baik, sebuah penyelamatan telah dilakukan untuk menghindari krisis kepercayaan masyarakat dengan menyelamatkan Bank Century. Penyelamatan ini rupanya menjadi cacat yang dimanfaatkan oleh para politisi untuk “meniadakan” seluruh kerja keras BI dalam usaha menyehatkan industri perbankan sejak tahun 1999. Padahal seorang ekonom dari perbankan Mirza Adityaswara (Kompas, 5/1/2010) menyatakan bahwa banyak orang mengatakan bahwa krisis 2008 tidak sama dengan krisis 1998. Tapi bagi praktisi di industri keuangan dengan melihat runtuhnya pasar keuangan dan industri perbankan di Amerika pada tahun 2008 yang lalu adalah sesuatu yang sangat menakutkan dan belum pernah terjadi sebelumnya.  
Bank Indonesia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena semua mata melihat kegagalan Bank Century adalah ketidakprofesionalan pengawas dan pimpinan BI. Padahal dibalik Bank Century juga ada andil kegagalan Bapepam-LK yang tidak segera mengendus kejahatan PT Antaboga Delta Sekuritas dalam melakukan praktek curang penjualan reksadana fiktif. Kesalahan semua tertuju ke BI, karena penjualan tersebut melibatkan kantor cabang Bank Century sebagai agen penjual reksadana fiktif tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Perbanas Sigit Pramono dalam (Bisnis Indonesia, 24/12/2009),” Dia menyampaikan pada intinya pengawasan BI kepada perbankan sudah cukup ketat. Namun, lanjutnya, jika ada satu bank yang dinyatakan bobrok dan lolos dari pengawasan itu perlu diteliti lebih mendalam, tetapi bukan sistem secara mendasar”.
Dimana Independensi OJK?
Sekarang tinggal menunggu waktu RUU OJK tersebut dibahas dan disahkan oleh DPR. Berdasarkan informasi yang beredar di media massa, stuktur organisasi di OJK tersebut akan dipimpin oleh Dewan Komisioner yang diusulkan oleh Menteri Keuangan (Bisnis Indonesia, 27/4/2010). OJK dalam menjalankan organisasi dipimpin oleh dewan komisioner yang beranggotakan sembilan orang. Terdiri satu orang ketua, tiga anggota independen, satu orang ex officio dari BI, satu orang ex officio Kementerian Keuangan dan tiap satu orang kepala eksekutif dari tiga bidang pengawasan. Dalam hal ini Menteri Keuangan memiliki kewenangan lebih banyak untuk mengusulkan anggota komisioner, yakni dari komisioner independen dan ex officio, sedangkan BI hanya ex officio dari dewan gubernur BI. Adapun, komisioner dari kepala eksekutif diambil kalangan internal.
Jika kita melihat konsep RUU tersebut, semangat independen yang dirancang  bagi OJK sebenarnya hanya teori bahkan bisa jadi hanya di atas kertas. Penyebabnya tidak lain faktor kewenangan Menteri untuk mengusulkan "orang-orang" pilihannya. Mari kita melihat kembali sejarah BI, ketika Undang-Undang No.13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia masih berlaku. Analogi ini hampir sama karena pengangkatan Direksi BI diusulkan oleh Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan. Dengan demikian konsep OJK ini sebenarnya ingin mengulang nostalgia kekuasaan Departemen Keuangan ketika adanya Dewan Moneter.
Tidak ada lembaga yang benar-benar independen di Indonesia karena pimpinan dari lembaga-lembaga independen ini lebih banyak dipilih karena faktor-faktor politis. Hal ini juga tidak lepas dari mekanisme fit and proper test yang tidak selalu melihat rekam jejak (track record) sang calon pemimpin. Faktor like and dislike masih menjadi kriteria utama dalam penentuan pemenang. Apalagi dengan konsep RUU OJK, sang calon pemimping disaring berdasarkan "kriteria" yang ditetapkan Menteri Keuangan. Dengan demikian independensi tersebut sangat tergantung dari integritas sang Menteri Keuangan. Di Jepang, seorang kepala Financial Services Agency (FSA) berani mundur dari jabatannya supaya tidak berkompromi dengan sesuatu yang tidak benar untuk mempertaruhkan kredibilitasnya. Sayang budaya ini tidak terjadi di Indonesia, karena kembali lagi yang dipikirkan itu kekuasaan, bukan kemaslahatan masyarakat.
Selain dari sisi kepemimpinan, Berdasarkan RUU OJK bab II Pasal 32 Ayat 1 disebutkan rencana kerja dan anggaran OJK akan dibiayai dari fee industri jasa keuangan (Bisnis Indonesia, 28/4/2010). Pendanaan operasionalisasi OJK yang direncanakan menggunakan manajemen fee yang dipungut dari industri keuangan menjadi salah satu unsur yang melemahkan independensi. Hal ini tentunya sudah menurunkan derajat independensi OJK, karena sangat bergantung pada pembayaran fee dari tiap lembaga yang diatur. Independensi yang diidam-idamkan akan terpasung oleh setoran fee tersebut. Contoh paling nyata adalah hubungan antara wajib pajak dan pengawas pajak. Walaupun mengantongi kekuatan secara legal untuk melakukan pengawasan pajak, tetap saja ada pengawas pajak yang kerepotan dalam menghadapi wajib pajak nakal. 
Hubungan OJK dengan lembaga yang diawasi nantinya juga dapat dianalogikan seperti pengawas pajak dan wajib pajak. Seperti yang diungkapkan Ibu Sri Mulyani dalam (Kompas, 14/5/2010), kesulitan besar pengawas pajak terjadi ketika menagih pajak orang-orang sangat kaya di Indonesia. Budaya aparat pajak yang enggan mendatangi kediaman orang kaya hingga masalah legal yang sengaja digunakan untuk menghambat aparat pajak menjadi penyebab utama sulitnya pengumpulan penerimaan pajak. Kemungkinan besar hal ini juga akan dihadapi oleh OJK, para pengawas OJK juga akan lemah secara psikologis ketika menghadapi institusi keuangan besar karena gaji dan seluruh fasilitasnya dibayar oleh jasa industri keuangan.
Para pengusung RUU OJK kelihatannya juga tidak melihat sensitifitas dan empati terhadap dampak yang dimunculkan jika OJK ini ada. Apakah mereka tidak memikirkan berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk mempersiapkan infrastruktur OJK? Siapa yang menanggung semua biaya ini? Sudah pasti jawabannya rakyat Indonesia tercinta yang taat membayar pajak baik secara langsung maupun tidak langsung. Berapa lagi anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membesarkan OJK? Sementara tanpa ada OJK, lembaga yang ada saat ini juga bisa bekerja dengan baik dengan perbaikan-perbaikan dan pengawasan dari seluruh masyarakat.
Efektifitas OJK
Siapakah yang berani menjamin dengan adanya pengawasan seluruh lembaga keuangan di OJK maka pengawasan menjadi lebih efektif dan efisien? pasti tidak ada yang berani menjamin 100% , karena dunia ini selalu berubah. Parlemen Inggris saja mulai mempertanyakan efektifitas keberadaan FSA atau OJK dan sedang merencanakan mengembalikan fungsi pengawasan ke Bank Sentral. Teori-teori yang pernah diutarakan 10 tahun lalu belum tentu relevan menjadi dasar pemikiran saat ini. Belum lama ini ada sebuah penelitian bahwa memutar musik Mozart tidak akan meningkatkan kecerdasan seseorang, padahal dahulu sering diberitakan dengan memutar musik Mozart pada usia dini kehamilan dapat meningkatkan kecerdasan anak. Semua mengalami perubahan, hanya perubahan itu yang tidak pernah berubah.
Pemimpin dan para politisi di negeri ini juga harus diingatkan kembali cara mengelola negara secara efektif dan efisien. Sikap kewirausahaan (entrepreneurship) jangan diterapkan dalam mengelola negara, dengan cara membuka lowongan pekerjaan melalui pendirian lembaga baru. Seorang dosen pernah mengajarkan cara mudah membedakan antara efektif dan efisien dengan contoh sederhana yaitu membunuh tikus dengan bom nuklir atau racun. Membunuh tikus dengan bom nuklir itu efektif namun tidak efisien. Mengorbankan uang rakyat hanya untuk memenuhi ide sekelompok orang yang merasa benar dengan ide OJK tentunya tidaklah bijaksana. Apalagi jika ide tersebut karena berdasarkan hasil studi banding dari negara lain yang dilakukan pada 10 tahun yang lalu.
Apa yang baik di negeri orang, belum tentu baik di negeri kita. Coba dilihat negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura, Philipina, di negara tetangga kita ini pengawasan perbankannya tetap berada di Bank Sentral. Mereka tidak terlalu sibuk membentuk lembaga-lembaga baru karena penguatan lembaga yang sudah ada dengan Good Corporate Governance (GCG) dilakukan secara konsisten. Kemudian bagaimanakah keberhasilan negara yang menganut paham OJK mengelola sistem keuangannya? Salah satu contoh Inggris, sebagai salah satu negara yang memiliki otoritas khusus dalam pengawasan Bank ternyata juga tidak berhasil dalam meredam krisis yang terjadi pada salah satu bank di sana. Kemudian Amerika, dengan berbagai macam lembaga pengawas keuangan yang katanya professional ternyata juga gagal mengendus kejahatan para banker di Lehman Brothers, Fannie Mae dan Freddie Mac. Jadi sebenarnya tidak ada gading yang tak retak. Setiap bentuk pengawasan pasti ada kelemahannya. Maling pasti lebih cerdas daripada penegak hukum.
Komunikasikan Perbaikan yang Ada di BI
Dalam sebuah teori continuous improvement sebuah perbaikan harus terus dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu dari hal yang kecil untuk mencapai hal yang besar. Bank Indonesia sejak tahun 1953, berdasarkan pada Undang-Undang No. 11 tahun 1953 tentang Bank Indonesia, sudah menjadi penentu kebijakan perbankan dan punya andil yang besar dalam perkembangan perbankan. Perbaikan yang telah dilakukan juga sudah banyak. Sementara industri keuangan lainnya, yang baru tumbuh kemudian sedikit banyak mempengaruhi transaksi di industri perbankan. BI sudah banyak melakukan perbaikan-perbaikan dari sisi pengawasan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat. Kerja keras dan usaha yang sudah dibangun oleh BI kenapa harus dirampas oleh sebuah Undang-Undang OJK dengan dalih bahwa apa yang dikerjakan oleh BI tidak “becus”.
Kalau boleh bertanya kembali apakah Departemen Keuangan juga sudah profesional mengawasi praktek-praktek manipulatif di lembaga-lembaga keuangan non bank? Atau apakah Bapepam-LK juga sudah profesional mengelola pasar modal dengan sebaik-baiknya sehingga tidak terjadi praktek-praktek insider trading atau sejenisnya? Kita harus berani mengatakan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan dunia bahwa banyak perbaikan yang telah BI lakukan sejak independen. Sebutan "Sarang Penyamun" bagi BI harus segera dihilangkan dengan berbagai strategi komunikasi dan re-branding image BI. Jangan mau sebutan "Sarang Penyamun" ini selalu dijadikan alat oleh para politisi ataupun kelompok-kelompok yang tidak suka dengan BI.
Dibalik ide OJK ini sebenarnya yang diperlukan adalah penguatan koordinasi dan perbaikan proses bisnis (Business Process Reengineering) di masing-masing instansi.  Tidak perlu dilakukan pembentukan OJK, karena lembaga-lembaga yang ada saat ini sebenarnya mampu menjawab tantangan tersebut asalkan setiap lembaga memiliki cara pandang dan tujuan yang sama yaitu kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Momentum Krisis Eropa
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Bila kita sepakat untuk mempertahankan fungsi pengawasan bank tetap berada di BI maka masih ada waktu untuk memanfaatkan momentum krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika untuk mempertanyakan kembali urgensi keberadaan OJK. Apalagi di Amerika dan Inggris sendiri sedang terjadi reformasi undang-undang di bidang keuangan di mana catatan paling penting justru memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Bank Sentral untuk mengawasi lembaga keuangan dengan aset besar terutama yang berbentuk konglomerasi.
Walaupun peluang itu kecil namun jika kita pandai memanfaatkan momentum yang ada tentunya dengan strategi komunikasi dan edukasi yang konsisten dapat mengubah keadaan dan cara pandang para politisi dan seluruh rakyat Indonesia terhadap keberadaan BI dan OJK. Hitler saja pernah berkata, "Kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran." Apalagi jika yang kita sampaikan itu adalah suatu kebenaran, tentunya akan menjadi pembenaran yang tak terbantahkan oleh siapapun.
Mari kita edukasi seluruh stakeholder di negara ini secara konsisten bahwa lebih banyak positif dan manfaat pengawasan bank tetap berada di BI, daripada harus menuruti amanat undang-undang BI untuk membentuk lembaga superbodi OJK yang belum tentu juga membawa manfaat untuk rakyat Indonesia. Pegawai BI pun rakyat Indonesia, yang suaranya juga harus didengar oleh para wakil rakyat. Dan yang perlu diingat lagi adalah Undang-Undang BI buatan manusia, yang sudah pasti tidak lekang sepanjang zaman.
Namun jika OJK tetap hadir patutlah kita bertanya sebenarnya keberadaan OJK ini karena kebutuhan rakyat Indonesia atau kebutuhan kelompok tertentu?
Menutup tulisan ini, kemenangan negara Amerika melawan mahluk luar angkasa pada film Independence Day ditunjukkan dengan semangat pengorbanan dan segala usaha yang dapat dilakukan hingga detik-detik terakhir sebelum invasi tersebut terjadi. Analogi dengan kondisi tersebut, selama belum ada ketok palu di DPR, kenapa kita tidak terus berjuang untuk yang kita yakini benar. 
Sumber :
Meyer, The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability, http://www.federalreserve.gov/boarddocs/speeches/2000/20001024.htm,2000.
Asworo, BI tidak atur bank: OJK bisa pekerjakan penyidik, Bisnis Indonesia 27/4/2010. 
Asworo, OJK dibiayai industri keuangan: Penempatan dana hanya ke obligasi pemerintah dan instrumen BI, Bisnis Indonesia 28/4/2010.

Hot Money, Habis Manis Sepah Dibuang (tulisan lama, masih layak baca)

Sometimes I find another world inside my mind when I realise the crazy things we do
It makes me feel ashamed to be alive
I wanna run away and hide
It’s all about the money, It’s all about the dum dum.......
And I don’t think It’s funny to see us fade away
Lirik lagu di atas mungkin tidak asing bagi sebagian dari kita, yang dipopulerkan oleh Meja dengan judul It’s All About The Money. Di negara-negara yang sekuler dan rakyatnya sangat materialistis, uang sudah menjadi segalanya dan terkadang mereka mau berbuat apa pun demi uang. Begitu pula dengan frase Hot Money yang selalu membuat pusing otoritas moneter dan fiskal karena seringkali menyebabkan krisis ataupun goncangan dalam sistem keuangan apabila tidak dikelola dengan baik.
Hot Money secara terjemahan bebas dapat diartikan uang panas atau uang haram. Kalau di Indonesia uang panas atau uang haram ini identik sekali dengan uang yang diperoleh dari hasil yang tidak benar seperti korupsi, narkoba, perampokan, perdagangan manusia, judi dan tindak pidana sejenisnya. Padahal sebenarnya terminologi hot money bukanlah seperti itu.
Hot money menurut ekonom adalah uang (dana) yang masuk ke sebuah negara dengan tujuan invenstasi jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan dari bunga. Aliran dana itu masuk ke dalam sebuah negara karena mengharapkan bunga yang tinggi jika dibandingkan bunga di negara asal dana itu berada. Tentu saja aliran dana dari luar ini semakin memperkuat nilai tukar mata uang negara penerima karena semakin bertambahnya pasokan devisa pada pasar domestik.
Siapa sebenarnya yang memiliki dana hot money ini? Dana dalam jumlah besar ini banyak dimiliki oleh orang-orang kaya ataupun perusahaan multinasional (MNC) di luar negeri yang menitipkan uangnya untuk dikelola oleh para hedge fund dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Demi membahagiakan para pemilik modal para hedge fund berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dengan demikian perilaku hedge fund ini hanya mencari keuntungan sesaat karena orientasinya pada investasi jangka pendek. Tidak jarang hedge fund ini pun menjadi wadah bagi para pelaku pencucian uang yang nilainya hampir mencapai US$ 1 triliun per tahunnya (Kontan, 31/10/2007).
 Apabila kita percaya bahwa perilaku economic animal para pemilik dana tersebut perlu diatur, maka inilah saatnya bagi kita untuk meninjau ulang struktur arus modal yang kita miliki selama ini.  Jangan lupa bahwa tanpa aturan, manusia hanya akan menjadi serigala, sebagaimana premis dari Thomas Hobbes (1679), manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Mungkin prinsip itulah yang mendorong Malaysia melakukan kebijakan kontrol devisa atau kontrol kapital (capital control) untuk membungkam para  serigala spekulan valas.
Tidak perlu malu kalau kita harus mengakui Malaysia itu lebih berani daripada Indonesia dalam menghargai kedaulatan ekonominya. Malaysia berani menerapkan rezim kontrol devisa agar negaranya tidak menjadi bulan-bulanan para spekulan. Malaysia melakukan kontrol  terhadap dana yang akan keluar bukan yang masuk. Ketentuannya adalah dana asing tersebut baru bisa keluar setelah setahun. Namun keberanian ini tentunya dengan segala pengorbanan yang harus ditebus misalnya lembaga pemeringkat menurunkan peringkat investasi di Malaysia, dan risk premium yang tinggi.
Sudden Reversal
Arus modal asing dalam jumlah besar ke beberapa negara berkembang terus terjadi dan diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2011 seiring dengan terus digulirkannya kebijakan Quantitative Easing jilid II oleh The Fed. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) untuk triwulan III tahun 2010 mencatat surplus USD7 miliar. Kenaikan surplus ini dipengaruhi secara signifikan oleh kenaikan surplus neraca modal dan financial sehingga menjadi sebesar USD6,5 milyar.
Secara umum, cadangan devisa akan meningkat jika terjadi surplus NPI dan akan berkurang jika terjadi defisit NPI. Neraca pembayaran yang surplus akan mengakibatkan bertambahnya cadangan devisa sebesar itu pula. Perubahan cadangan devisa sebenarnya bisa terjadi akibat transaksi tertentu lainnya dengan pihak internasional, misalnya pembayaran dan transaksi dengan IMF.
Melihat perkembangan NPI dalam kondisi surplus tentu kita patut bersyukur sehingga mendorong cadangan devisa negara kita pun turut bertambah. Tercatat pada posisi akhir bulan November 2010 nilainya mencapai USD92 milyar. Terbesar sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Namun uang sebesar itu tidak sepenuhnya milik rakyat Indonesia karena besarnya cadangan devisa yang dimiliki masih harus dicermati lagi pada detilnya. Berasal dari mana saja, dan apakah dengan mudah akan berkurang atau bertambah secara drastis. Karena jika ada goncangan eksternal pada perekonomian domestik, yang paling berisiko adalah nilai tukar. Idealnya, cadangan devisa tumbuh secara stabil, ditopang oleh struktur transaksi internasional yang kuat. Bukan dipengaruhi oleh perilaku suatu kelompok, misalnya para pemilik dana internasional yang uangnya hilir mudik.
Banyak orang awam tentu akan mempertanyakan apakah keadaan ini merupakan berkah atau musibah? Beberapa ekonom yang berpendapat aliran modal dari luar ini merupakan berkah karena dapat menopang defisit anggaran melalui surat utang negara ataupun obligasi. Selain itu dengan masuknya aliran dana asing ini maka likuiditas valas di pasar domestik pun meningkat yang pada akhirnya rupiah pun mengalami apresiasi yang cukup signifikan. Dana asing ini pun memperbesar surplus neraca modal dan financial yang pada akhirnya menambah cadangan devisa negara.
Rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala pasti berbeda. Ada pula ekonom yang meragukan manfaat aliran modal asing karena akan menjadi awal musibah. Alasannya karena dana asing yang masuk tersebut hanya mampir pada instrumen keuangan (investasi portofolio). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Faisal Basri dalam bukunya yang berjudul Lanskap Ekonomi Indonesia bahwa pertumbuhan ekonomi, kurang berkualitas karena sektor yang tidak diperdagangkan (nontradable) lebih dominan ketimbang sektor yang bisa diperdagangkan (tradable). Disebut kurang berkualitas karena sektor yang tidak diperdagangkan umumnya kurang menyerap tenaga kerja dan pada akhirnya hanya akan menciptakan gelembung ekonomi yang suatu saat siap meledak.
Kekhawatiran akan terjadinya arus balik modal (sudden reversal) disebabkan dana yang masuk tersebut lebih banyak parkir pada instrumen keuangan (portfolio investment) bukan pada investasi langsung atau dikenal dengan foreign direct investment (FDI). Pada triwulan III 2010, tercatat nilai investasi langsung sebesar USD2,5 milyar sementara nilai investasi pada instrument keuangan mencapai USD6 milyar. Banyak yang berharap derasnya arus modal masuk di instrument keuangan nantinya akan menjadi investasi langsung. Pertanyaannya apakah negara ini sudah menyiapkan ketentuan untuk meminimalkan sudden reversal tersebut?
Memanfaatkan Aliran Dana Asing
Derasnya arus dana asing yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari imbal hasil yang tinggi didukung dengan kondisi fundamental ekonomi yang relatif stabil. Secara sederhana pengelolaan dana asing ini tidak jauh berbeda dengan kondisi bank yang kebanjiran likuiditas tapi tidak mampu untuk menyalurkan kredit, sehingga beban bunga yang harus dibayar melalui instrumen keuangan tersebut pada akhirnya hanya akan menambah beban biaya operasi moneter.
Dengan masuknya dana asing tersebut pada akhirnya menambah jumlah likuiditas valas di pasar domestik. Jumlah Sertifikat Bank Indoenesia (SBI) yang dimiliki asing pada posisi akhir triwulan III 2010 sudah mencapai USD7,2 milyar dan surat utang negara yang mencapai USD37 milyar sehingga totalnya mencapai USD 44 milyar. Jika dibandingkan periode 2009 dan 2010 pada periode triwulan yang sama terjadi lonjakan cukup drastis sehingga kenaikan investasi portofolio itu mencapai 58%.
Beberapa langkah untuk meredam arus balik modal tersebut sudah dipersiapkan oleh otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia. Beberapa langkah tersebut antara lain dengan memperlebar koridor suku bunga Pasar Uang Antar Bank Over Night (PUAB O/N), memperpanjang masa kepemilikan SBI menjadi minimal 1 bulan, revisi posisi devisa netto (PDN), penerbitan SBI 9 dan 12 bulan, penambahan instrument moneter Term Deposit, dan penerapan mekanisme triparty repurchase (repo) Surat Berharga Negara (SBN).
Antisipasi yang dilakukan oleh BI ternyata tidak diikuti oleh otoritas fiskal. Otoritas fiskal sepertinya tenang dan justru rajin menerbitkan surat utang untuk menutup defisit anggaran. Diperlukan langkah-langkah yang langsung menyentuh sektor riil ketimbang ikut-ikutan menerbitkan instrumen keuangan lain. Kebijakan penurunan pajak ekspor, menaikkan tarif impor, kewajiban penggunaan L/C dari Bank dalam negeri atau insentif pajak lainnya perlu dipikirkan agar sektor-sektor unggulan dalam negeri dapat melesatkan produksi dan daya saing. Lambatnya aliran investasi langsung tersebut juga disebabkan beberapa hal mulai dari perizinan, pajak, retribusi dan pungutan-pungutan liar yang pada akhirnya mengurangi daya saing ekonomis.
Mengelola perekonomian negara tidak bisa diserahkan hanya kepada Bank Sentral. Ketika neraca Bank Indonesia mengalami defisit akibat operasi moneter yang sangat besar, banyak pihak menuding Bank Indonesia tidak bekerja dengan baik. Padahal penyebab dari ini semua apabila ditelusuri lebih lanjut adalah lambannya pemerintah pusat maupun daerah untuk merealisasikan anggaran belanja sehingga banyak proyek-proyek infrastruktur yang tertunda. Anggaran belanja yang belum terealisir tersebut pada akhirnya ditumpuk di rekening bank. Bank tentunya akan mencari tingkat investasi paling aman dengan keuntungan lumayan yaitu SBI. Pada akhirnya yang menikmati keuntungan bunga ini adalah para bankir, karena dengan semakin besarnya uang “nganggur” tersebut Bank Indonesia harus membayar bunga yang semakin besar. Belum lagi ketika SBI itu ternyata dimiliki oleh asing, maka sebenarnya rakyat Indonesia hanya membuang uang untuk membayar orang asing untuk sesuatu yang tidak produktif.
Dampak dari lambannya pemerintah pusat dan daerah merealisasikan anggaran belanja tahunan tidak lepas dari proses birokrasi yang lambat. Tanggung jawab pemerintah dalam membangun infrastruktur seperti ketersediaan listrik, jalan, pelabuhan dan sarana transportasi lainnya membuat para investor asing ragu untuk masuk ke Indonesia.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Boediono, Wapres kita, tentang perlu dipersiapkannya kanal-kanal dalam menghadapi aliran dana asing tersebut. Kanal-kanal tersebut seharusnya bukan hanya dari sisi moneter, namun juga fiskal serta didukung pula dari proses birokrasi dan administrasi. Bagaimana mungkin dana-dana asing tersebut dapat bertahan lama kalau tidak tersedia instrumen investasi yang menguntungkan. 
Adapun kebijakan dari sisi moneter yang masih perlu diperbaiki oleh Bank Sentral menurut pendapat penulis, antara lain:
1.       Memperpanjang masa kepemilikan SBI oleh asing sampai 1 tahun dan mengenakan pinalti jika terjadi penarikan sebelum masa tersebut berakhir. Para pemilik dana asing sudah menikmati bunga yang tinggi jika dibandingkan bunga di negara asalnya atau bunga acuan The Fed. Bunga tinggi sudah menjadikan Indonesia sebagai surga investasi, kenapa BI tidak berani membebankan sejumlah penalti jika tiba-tiba dana tersebut ingin keluar dari Indonesia. Melihat kondisi global yang sedang dalam ekses likuiditas sudah sangat wajar jika kita juga seharusnya agak sedikit jual mahal terhadap dana asing.
2.  Strategi cari untung yang dilakukan oleh pihak asing seharusnya juga bisa diredam jika BI berani menurunkan suku bunga acuan (BI rate). Kenapa harus takut karena pada akhirnya ketika biaya operasi moneter membengkak, BI juga yang disalahkan. Berhati-hati adalah baik namun jika berlebihan maka jadi bumerang juga. Mungkin karena terlalu banyak pertimbangan maka BI rate tidak kunjung turun dengan alasan untuk meredam inflasi. Namun jika dipikir-pikir, ketika terjadi kenaikan harga premium atau harga cabai saja apakah BI rate dapat  meredam laju kenaikan harga-harga? Terlalu banyak faktor eksternal dan jalur transmisi yang cukup panjang, justru ada yang menyebutnya black box, yang tidak bisa BI kendalikan untuk meredam inflasi.
3.       Membuat peraturan tentang kredit/pembiayaan infrastruktur yang lebih mudah dari sisi persyaratan dan ketentuan. Lambannya pemerintah dalam proses birokrasi kemungkinan dapat disiasati dengan memberikan dukungan kepada perbankkan untuk mau memberikan kredit kepada pihak-pihak swasta yang mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Dengan demikian dana yang diperoleh dari Bank dapat dipakai oleh pihak swasta tanpa terlebih dahulu menunggu pembayaran dari pemerintah (APBN/APBD). Hal ini perlu dukungan dari BI terutama dari aspek jaminan, penggolongan kualitas kredit dan juga suku bunga.
 4.      Ketentuan giro wajib minimum (GWM) yang mengaitkan dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) memang sudah ada dan akan efektif berlaku pada bulan Maret 2011. Ketentuan ini membagi GWM menjadi tiga jenis yaitu GWM primer, GWM sekunder dan GWM LDR. Apabila Bank tersebut memiliki rasio LDR di antara 78% - 100% maka total rasio GWM tersebut nilainya bisa mencapai 10,5%. Salah satu yang mungkin perlu dikritisi adalah faktor pengali dari selisih pencapaian LDR target dengan LDR riil Bank yang hanya 0,1. Dalam contoh kongkritnya jika sebuah Bank misalnya memiliki LDR hanya 68% maka Bank ini hanya perlu menambah GWM sebesar 10% x 0,1, yaitu 1%. Angka yang cukup kecil, bagi sebuah Bank. Apalagi jika Bank ini ternyata Bank papan atas yang sudah punya nama dan jaringan luas. Perbaikan yang mungkin dilakukan adalah faktor pengali tersebut seharusnya adalah lebih besar. Bank Indonesia harusnya lebih berani seperti yang dilakukan Bank Sentral Cina yang bisa menaikkan cadangan wajib untuk bank besar sampai 17,5%.
5.       Menegakkan aturan bahwa Rupiah adalah legal tender yang sah di negeri ini. Dengan demikian setiap transaksi harus dilakukan dalam mata uang rupiah. Penggunaan rupiah pada akhirnya akan mendorong supply valas yang lebih besar di sistem keuangan nasional. Kebijakan ini perlu didukung oleh pemerintah mengingat saat ini, tidak ada satupun undang-undang di negeri ini yang mengatur tentang perizinan/pengawasan pedagang valuta asing bukan bank. Pedagang valuta asing bukan bank berada pada area abu-abu karena tidak ada satupun lembaga yang secara eksplisit diamanatkan untuk mengatur dan mengawasinya. Area abu-abu ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mengerti untuk menghindari tanggung jawab pelaporan kepada PPATK ataupun Bank Indonesia. Disinyalir juga praktek money laundering yang dilakukan oleh pemodal asing dengan memakai nama orang Indonesia kerap terjadi karena lemahnya hukum di negara ini. Apabila kewenangan BI untuk mengawasi dan mengatur perdagangan valas bukan bank secara tegas diamanatkan oleh undang-undang, maka BI dapat mengawasi para spekulan valas yang berkedok pedagang valas bukan bank dengan lebih baik dan bahkan menjangkau pihak-pihak yang tidak berizin. Perlu dipahami dan diingat bahwa pengaturan izin sebuah lembaga keuangan jangan hanya dilihat dari sisi ekonominya saja, namun perlu juga dilihat dari aspek keadilan dan hak asasi warga negara.
6.       Membatasi penduduk Indonesia untuk melakukan investasi ke luar negeri. Investasi penduduk ke luar negeri pada akhirnya akan mengurangi nilai neraca pembayaran. Dana milik penduduk tersebut seharusnya bukan lari ke luar negeri namun seharusnya dana tersebut menjadi raja di negerinya sendiri. Penduduk yang melakukan investasi ke luar negeri tidak lebih seperti penjajah pada zaman Belanda ataupun Jepang. Setelah meraup keuntungan besar di negara ini mereka melarikan uang-uang tersebut ke luar negeri. Wajar saja kalau para konglomerat yang banyak diselamatkan oleh BLBI sangat senang dengan hadirnya rezim devisa bebas, mereka bisa membawa kabur uangnya keluar negeri. Lihatlah di negara ini bagaimana para konglomerat yang telah diselamatkan oleh BLBI itu ternyata sekarang justru menguasai ekonomi mulai dari cabai sampai perbankan.  Pembatasan investasi tersebut bisa dilakukan BI seperti pada ketentuan BI yang membatasi Bank untuk memberikan pinjaman kepada pihak asing (bukan penduduk). Pembatasan ini menurut penulis juga bisa diatur kepada pihak ataupun lembaga non bank mengingat pada akhirnya proses settlement investasi tersebut harus melewati bank. Pembatasan ini tentunya perlu landasan hukum yang kuat dan didukung oleh legislatif, mungkin jalurnya dari amandemen Undang-Undang lalu lintas devisa.
      Langkah-langkah di atas baru dari sudut pandang moneter dan perbankan, lalu bagaimana dengan kebijakan fiskal?  Kebijakan dari pemerintah sebagai otoritas fiskal sangat menentukan akhir dari pelarian dana-dana ini. Apakah tetap setia di Indonesia atau segera hengkang mencari keuntungan yang lebih tinggi? Jangan sampai ekonomi negara kita ini seperti peribahasa habis manis sepah pun dibuang.

Mengajak Berhemat tetapi Tidak Memberi Contoh

Tidak lama lagi BBM bersubsidi akan dibatasi. Rencana ini akan dimulai pada April 2012. Kendaraan pribadi di Jakarta tidak lagi bisa menikmati BBM bersubsidi. Dengan demikian para pengguna mobil pribadi harus merogoh kocek lebih dalam agar bisa tetap menggunakan mobilnya. Dengan harga Pertamax sekitar Rp8300 atau hampir 2 kali dari harga premium maka secara otomatis pengeluaran bahan bakar pun semakin meningkat sebanyak 2 kali.

Sebelum aturan pembatasan ini resmi dikeluarkan pihak-pihak yang berkepentingan antara lain Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dan Pertamina sibuk mengeluarkan iklan-iklan layanan masyarakat yang isinya mengajak masyarakat untuk menggunakan BBM nonsubsidi. Langkah yang bagus namun tidak ada gunanya karena hanya buang-buang uang untuk menghabiskan anggaran belanja kementrian atau belanja iklan Pertamina dan menambah besar pendapatan iklan stasiun TV. Tanpa perlu iklan pun sebenarnya masyarakat sudah mengerti mana yang baik dan menguntungkan bagi Negara karena hal ini sudah menjadi pembicaraan umum bagi masyarakat di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (Jabodetabek).

Pengeluaran dari biaya iklan sudah menjadi contoh bagaimana Kementrian ESDM atau Pertamina tidak menggunakan dana yang dimilikinya secara tepat guna dan tepat sasaran. Kenapa anggaran iklan tersebut tidak digunakan untuk menggerakkan atau mendukung usaha-usaha untuk menciptakan energi terbarukan. Pengalihan dana iklan layanan tersebut dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat agar dapat menggunakan energi terbarukan seperti Bioetanol, Biogas. Pada akhirnya subsidi untuk BBM pun akan ikut turun karena menurunnya tingkat ketergantungan masyarakat pada Gas Elpiji 3kg atau 12kg atau bahkan premium.

Mungkin pertanyaan besar yang harus dijawab adalah kenapa Kementrian ESDM atau Pertamina tidak memikirkan hal ini? Apakah karena takut kehilangan monopoli dan penguasaan terhadap sumber-sumber energi ? Atau terlalu lezatnya bisnis energi ini sehingga rakyat harus terus dibelengu sehingga tidak diberi kebebasan untuk mandiri dalam memproduksi, menjual dan menggunakan energi yang dapat mereka ciptakan secara mandiri.

Kementrian ESDM boleh saja berkilah bahwa sudah ada peraturan dan ketentuan yang mendukung program pengembangan energi terbarukan. Kemudian pertanyaan berikutnya, apakah cukup dengan membuat aturan saja? Dengan melihat kondisi bangsa kita ini, rasanya tidak cukup dengan membuat kebijakan dan peraturan. Kementrian ESDM sebagai kementrian teknis seharusnya juga memfasilitasi dan bahkan mendukung pengembangan, produksi, dan distribusi energi terbarukan. Pertamina sebagai perusahaan Negara sudah seharusnya diberi tanggung jawab untuk mendukung usaha pengembangan dan produksi energi terbarukan. Bukankah kalo Pertamina harus disubsidi maka yang harus menomboki itu pada akhirnya adalah pemerintah. Jadi sudah sepantasnya fungsi Pertamina juga direformulasi jangan hanya fokus pada energi minyak dan gas bumi, tetapi juga energi-energi terbarukan lainnya. Sinergi Pertamina dengan PLN juga perlu dilakukan mengingat energi tidak bisa dikotak-kotakkan seperti pembagian tugas BUMN. Hukum kekekalan mengatakan bahwa “Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya”. Jadi tidak ada pembatasan antara BUMN pensuplai listrik ataukah pensuplai BBM/BBG, semuanya adalah BUMN yang memiliki kemampuan untuk mengubah bentuk-bentuk energi dari minyak bumi/gas menjadi energi listrik atau energi gerak/kinetik.

Sinergi antara Pertamina dan PLN juga akan menguntungkan negara, karena subsidi yang diterima PLN akibat penggunaan solar juga akan menurun karena penggunaan energi terbarukan seperti biodisel atau bioetanol. PLN perlu juga mendukung program kemandirian ini karena energi listrik sudah bukan barang sekunder. Listrik sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat maju. Apabila Indonesia ingin maju maka seluruh tanah pertiwi ini harus sudah dialiri oleh listrik.

Menunggu kemampuan PLN untuk bisa menjangkau area-area terpencil atau perbatasan perlu waktu dan dukungan dari pemerintah. Karena itu sudah sewajarnya PLN juga harus mengajak peran masyarakat agar bisa mandiri secara energi. Kemandirian masyarakat terhadap energi listrik juga akan mengurangi kebutuhan PLN untuk membangun pembangkit listrik dengan pinjaman dari asing yang notabene selalu diboncengi dengan kepentingan jualan produk-produk dari negara asal peminjam. PLN dapat berkonsentrasi untuk memanfaatkan kekuataan lokal dan domestik untuk menciptakan energi listrik yang lebih baik untuk masyarakat lokal.

Senin, 26 Desember 2011

Keberpihakan Pemerintah Daerah Kepada Pemodal Asing

Di penghujung akhir tahun 2011 ini terdengar banyak kasus sengketa lahan yang melibatkan rakyat, aparat, dan pemodal sebut saja kasus di Mesuji Provinsi Lampung, di Sape di Provinsi NTT, di Mandailing, Sumatra Utara. Sangat pedih rasanya melihat sesama rakyat Indonesia kita harus saling menyakiti, terlebih lagi rakyat yang hanya bermodalkan batu dihadapkan dengan aparat yang memegang senjata. Rakyat berdemo untuk melindungi kepentingan mereka yang dirampas dengan kebijakan oleh Pemerintah Daerah setempat. Rakyat berdemo karena aspirasi mereka tidak didengar oleh pembuat kebijakan, bahkan DPRD setempat pun mungkin tidak ikut serta membantu rakyat di daerahnya, sehingga rakyat akhirnya memilih jalan terakhir dengan berdemo. 

Bagi aparat kondisi ini sungguh dalam posisi dilematis. Mereka punya tanggung jawab untuk menjaga semua berjalan dengan aman dan tentram. Cukup masuk akal kalau mereka akan berusaha menjaga keamanan dengan prosedur yang sudah mereka tetapkan. Dengan demikian bagi aparat targetnya adalah menjaga keamanan daerah dengan sebaik-baiknya. Sumber masalah bukan pada aparat, namun pada pembuat kebijakan yang menjadi sumber demo masyarakat.

Komunikasi yang buntu antara elite pemerintahan dengan warga menjadi sumber masalah. Pemda tidak mendengar aspirasi rakyat karena mengejar setoran pendapatan daerah melalui pajak. Walaupun efek dari pemberian izin usaha itu akan berdampak pada rusaknya alam atau ekosistem yang akan mengganggu kehidupan rakyat di daerah tersebut. Seperti ada jurang antara pemerintah daerah dan rakyatnya. Padahal jika pemerintah lebih memperhatikan potensi daerah tidak melulu harus mendatangkan pemodal untuk menghasilkan pendapatan yang besar. Rakyat juga bisa memberikan hasil yang baik jika didukung dengan program-program kemitraan yang dapat menggali potensi daerah.

Rakyat geram karena seringkali izin usaha yang diberikan apakah itu perkebunan atau pertambangan hanya menjadikan mereka penonton dan korban. Bagaimana bisa menjadi penonton karena tenaga kerja yang direkrut oleh perusahaan itu lebih banyak dari luar daerah sehingga putra daerah hanya menjadi tenang kerja rendahan yang setiap saat dengan mudah bisa dipecat perusahaan. Rakyat setempat juga bisa menjadi korban karena selain tanah mereka dirampas, alam juga tidak mendukung mereka lagi untuk bertani atau berkebun sebagaimana sediakala. Pada akhirnya rakyat tersingkir dari tanah lahir mereka sendiri. Sangat ironi, di alam kemerdekaan ini justru kita terjajah oleh kaum kapitalis dan birokrasi.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah kemeralatan dan kriminalitas. Kemeralatan membuat warga yang merasa dirampas hak-haknya akan emosi dan sangat mudah untuk dipancing berbuat anarkis. Ujung dari semua ini adalah meningkatnya kriminalitas. Rakyat mencuri di kebun-kebun perusahaan atau rakyat mencuri di areal-areal pertambangan. Ini semua adalah efek domino yang terjadi ketika keserahkan itu sangat menguasai perusahaan-perusahaan yang sudah mendapatkan izin dari para pejabat di Pemda.

Bagi Pemda yang merasa izin usaha yang mereka keluarkan sudah baik seharusnya juga bersikap tegas. Ketika aspek-aspek yang dipersyaratkan sebelum izin dikeluarkan tidak terpenuhi ada baiknya mereka harus ditindak tegas. Misalkan ketika perusahaan tidak menerapkan sistem pengolahan limbah yang baik maka Pemda dapat langsung mencabut izin atau membekukan operasi perusahaan tersebut. Pemda juga harus aktif melakukan pengawasan terhadap seluruh aspek-aspek yang dipersyaratkan untuk usaha itu berjalan dengan seimbang dengan alam.

Semoga keseimbangan antara pemodal dan rakyat dapat difasilitasi oleh Pemda. Itulah fungsi Pemda di daerah, bukan menjadikan rakyat sebagai obyek jajahan, tetapi sebagai mitra untuk membangun daerah. 

Selasa, 20 Desember 2011

Kekuatan Asing Sangat Mudah Menguasai Lahan di Indonesia

Begitu besarnya kekuatan asing sehingga dapat membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan terkait dengan penetapan Taman Nasional Batang Gadis di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dengan menempuh jalur hukum sebuah perusahaan dapat membatalkan SK Menteri Kehutanan tersebut melalui uji materil di Mahkamah Agung (MA).
Sangat ironis sekali bahwa putusan MA tidak melihat asal muasal bagaimana Menteri Kehutanan dapat menetapkan areal Batang Gadis sebagai Taman Nasional. Padahal jika hakim-hakim Agung di MA itu sedikit berusaha dengan membaca dan melihat dengan hati harusnya mereka bisa melihat bahwa faktanya penetapan itu adalah keinginan Pemda Kabupaten Mandailing Natal (Madina).

Sebagaimana coba saya cuplikan dari website Kementrian Kehutanan sebagai berikut, "Berbeda halnya dengan taman nasional lainnya, penunjukan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) diprakarsai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten  Mandailing  Natal (Madina). Prakarsa ini tidak terlepas dari  keinginan,  dorongan  dan dukungan dari masyarakat setempat, tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan hidup yang berkeinginan untuk menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa dan relatif utuh di Provinsi Sumatera Utara agar dapat mendatangkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Pembentukan kawasan konservasi baru di Sumatera semakin penting mengingat hutan alam di pulau ini dalam situasi memprihatinkan, karena pemanfaatan hutan yang tidak berkelanjutan dan salah pengelolaan hutan pada masa lalu."

Kejadian ini baru pertama kali terjadi bahwa sebuah perusahaan memiliki hak menggugat SK Menteri Kehutanan dalam penetapan status taman nasional. Putusan MA bernomor 29/P/HUM/2004 memenangkan permohonan uji materiil yang diajukan oleh PT Sorikmas Mining (SM). Putusan itu memerintahkan kepada Menhut segera mencabut SK-126/MENHUT-II/2004 tanggal 29 April 2004 Tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas Dan Hutan Produksi Tetap menjadi Taman Nasional. Dengan demikian maka status Taman Nasional tersebut berubah statusnya menjadi menjadi hutan lindung dan hutan produksi terbatas sebagaimana fungsinya semula khususnya yang menjadi areal kontrak karya.

Yang sudah didepan mata dan dihadapi warga di sana adalah kerusakan alam yang terjadi. Gunung-gunung digali, sungai menjadi tercemar merkuri untuk mendapatkan emas. Kasihan warga Mandailing yang notabene pekerjaannya banyak bertani dan berkebun. Warga Mandailing sadar dan sangat sadar akan alam yang mereka miliki. Jangan rusak ekonomi warga dengan hanya untuk kepentingan perusahaan atau segelintir orang. Banyak orang yang akan mengalami kesulitan mulai dari tanah yang tidak subur lagi, sampai penyakit yang ditimbulkan dari akibat penambangan tersebut.

Semoga Tuhan menyelamatkan warga Mandailing, Semoga Tuhan selalu memberikan kekuatan kepada para pejabat di Pemda untuk tetap membela rakyatnya. Semoga Menteri Kehutanan tidak pasrah, janganlah cuma berani membuat slogan Tanam Sejuta Pohon, tapi berikanlah usaha terbaikmu untuk menyelamatkan hutan Indonesia. Sudah terlalu banyak hutan di Indonesia yang dikuasai oleh asing dengan kedok perkebunan dari perusahaan lokal tetapi ternyata dibelakang itu adalah pihak asing. Jangan sampai tiap jengkal tanah air ini dikuasi asing.

Sudah sejak lama masyarakat Mandailing Natal menjalankan kearifan lokal yang masih bertahan sampai saat ini. Secara tradisional masyarakat telah melindungi hutan alam dan sumber air serta memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana, misalnya melalui tata cara, lubuk larangan, penataan ruang banua/huta, tempat keramat 'naborgo-borgo' atau 'harangan rarangan' (hutan larangan) yang tidak boleh diganggu dan dirusak.  Dalam pandangan hidup masyarakat Mandailing, air merupakan 'mata air kehidupan' yang bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis, sehingga harus dilindungi keberadaannya.

Semoga Tuhan Mendengar jeritan rakyat Mandailing.

Rabu, 14 Desember 2011

Melindungi Rakyat dari Kezaliman Asing (Seandainya Saya Anggota DPD-RI)

Jika Saya sebagai anggota DPD akan saya ambil satu peran dan fungsi DPD sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 adalah ikut melakukan pengawasan pengelolaan sumberdaya alam dan ekonomi serta perimbangan keuangan daerah dan pusat. Menurut saya peran dan fungsi DPD dapat diterjemahkan dengan cara menjaga kedaulatan negara dengan cara melindungi dan menjaga hak-hak rakyat Indonesia dari perampasan negara asing atau perusahaan asing.
Terlalu banyak lembaga-lembaga negara seperti departemen/kementrian, ataupun non departemen seperti  BNP2TKI, dinas teknis di pemda, komisi ombudsman, komisi HAM, dan sederet lembaga-lembaga lain yang belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan terkesan mandul. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang lembaga-lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang tumpang tindih namun pada akhirnya justru tidak ada yang mengerjakan.
Dengan kondisi birokrasi Indonesia yang carut marut ini, salah satu terobosan yang dapat dilakukan Anggota DPD adalah dengan melindungi hak-hak rakyat dari perampasan oleh perusahaan asing/negara asing di daerah pemilihannya. Mari kita ambil contoh kejadian yang terjadi di Mesuji, Lampung. Apabila benar ada sebuah perusahaan Asing ingin merampas tanah-tanah rakyat maka saya akan membantu mereka dengan hak-hak Anggota DPD yang saya miliki untuk melindungi mereka. Saya akan lebih memilih rakyat saya daripada perusahaan asing yang pada akhirnya hanya akan menyengsarakan rakyat. Saya akan suarakan kepada muspida setempat dan meminta bantuan BPN untuk melindungi rakyat. Apabila tidak bisa maka saya akan suarakan dan sampaikan aspirasi rakyat ini sampai ke Pemerintah Pusat. Kalau pemerintah pusat tidak mau mendengar juga saya akan sampaikan kepada Dunia, bahwa telah terjadi perampasan hak-hak rakyat dengan cara-cara yang tidak benar dan menurut hukum. Menjadi Anggota DPD harus cerdas, memiliki jaringan kuat dan tentu saja ikhlas. Jaringan kuat bukan untuk mempertahankan kekuasaan pribadi, justru untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat tempat di mana saya dipilih.
Selain melindungi hak-hak rakyat seperti di atas, Saya juga akan berusaha membuat program-program nyata yang dapat mengangkat harkat dan martabat rakyat di daerah dengan memajukan perekonomian di daerah tersebut. Rakyat yang mata pencarian utamanya hanya bertani atau berkebun harus kita bantu agar hasil pertanian dan perkebunannya meningkat. Saya akan memulai dengan mendirikan koperasi atau credit union di daerah pemilihan tersebut. Gerakan ini akan saya mulai dengan terjun lansung ke lapangan. Pada saat musim panen para petani diwajibkan menyetorkan hasil panen ke koperasi dan juga diwajibkan untuk menabung. Pada saat musim tanam hasil tabungan yang dimiliki dapat digunakan untuk modal menanam. Gerakan ini sebenarnya sudah ada di Kementrian Koperasi namun kendalanya adalah kalau tidak diawasi dengan baik bukan tidak mungkin koperasi itu hancur dan tidak memberi manfaat kepada rakyat. Pendirian koperasi juga melindungi para petani dari para rentenir yang akan merampas tanah pertanian mereka. Karena jika mereka sudah kehilangan tanah miliknya, sudah pasti mereka akan menjadi buruh tani seumur hidup. Sangat ironis sekali melihat rakyat dirampas haknya karena kebodohan mereka.
Demikianlah salah satu peran dan fungsi sebagai anggota DPD yang akan saya jalankan. Semoga DPD ke depan semakin baik.

Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

Kira-kira inilah impian para pendahulu dan pendiri bangsa ini untuk menjadikan rakyat Indonesia Tuan di Negeri Sendiri. Namun apa daya dan kuasa, para pemimpin negeri ini terlalu banyak berkutat untuk kekuasaan pribadi semata. Setiap 5 tahun diadakan pemilu, dan setiap 5 tahun pula Undang-Undang pemilu diubah. Pajak setiap tahun naik, namun setiap tahun pula gaji dan fasilitas seluruh pejabat negara ikut naik sehingga sisa dari pajak tersebut hanya sedikit yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Kemungkinan negeri ini untuk bisa mendapatkan pemimpin yang benar-benar adil sangat jauh. Karena itu tidak perlu berharap untuk melihat pemimpin berubah namun setiap oranglah berusaha sebaik mungkin melakukan kebaikan untuk perubahan kepada Indonesia. Bukankan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak berusaha mengubahnya.

Menjadi Tuan di Negeri Sendiri itu dapat diwujudkan melalui berbagai program misalnya
1. Pengembangan Penelitian
2. Peningkatan Kemampuan Rakyat
3. Penggunaan Produk Nasional

Ilmu pengetahuan merupakan kunci bagi kekuatan. Dari sejarah dapat diketahui bagaimana bangsa yang memiliki pengetahun dapat menguasai bangsa yang bodoh. Seperti bangsa Spanyol yang dapat menundukkan daerah jajahannya ketika mereka mulai menguasai penggunaan mesiu dan meriam. Spanyol menggunakan ilmu yang mereka miliki untuk merampas kedaulatan dan kekayaan bangsa lain. Di era modern, kita bisa lihat bagaimana Amerika dengan keilmuan yang mereka miliki dapat menggulingkan para pemimpin negara-negara yang mereka tidak sukai. Seperti menunggu waktu, Iran pun sebentar lagi akan menjadi ajang uji coba tentara marinir Amerika. (semoga Tuhan tidak merestui pekerjaan itu).

Penggunaan teknologi juga dapat dipakai untuk kemajuan dalam ekonomi. Jepang dan China adalah contoh yang tepat bagaimana perkembangan teknologi berkembang pesat di dua negeri ini. Mereka menjual produk-produk tersebut ke seluruh dunia. Dan menjadi produk unggulan di negara orang.

Lalu kenapa Indonesia tidak bisa maju? Apakah terlalu banyak orang yang tidak pintar? Sebenarnya bukan karena rakyat Indonesia tidak pintar, namun karena pemerintah tidak memberikan insentif kepada pengusaha-pengusaha kecil. Pemerintah lebih menaruh perhatian kepada pengusaha-pengusaha besar yang memiliki modal besar dan memberikan janji-janji yang manis.

Apakah sebenarnya tidak boleh mengundang pengusaha besar untuk masuk ke Indonesia? Bolehlah dan haruslah. Namun inilah yang lucu, bangsa kita ini ketika bernegosiasi dengan asing selalu berposisi sebagai hamba, padahal tanpa seperti itupun negara ini adalah surga bagi para investor. Seharusnya ketika ada kontrak-kontra kerja Penanaman Modal Asing (PMA) terutama PMA yang memiliki teknologi tinggi harus dibuat persyaratan bahwa harus ada alih teknologi. Lihatlah Toyota yang sudah hampir bercokol di Indonesia kurang lebih 40 tahun. Apa iya bangsa ini bisa menciptakan kendaraan sekelas mobil avanza atau kijang innova? Kalau iya, kenapa sampai sekarang pemerintah tidak berani menciptakan mobil nasional? Apakah ongkosnya terlalu mahal? Atau karena tidak percaya dengan kemampuan bangsanya sendiri??

Mohon maaf kalau ada yang tidak suka dengan negara Malaysia, sebenarnya juga saya tidak suka dengan negara ini terlebih dengan kasus-kasus yang sekarang sering kita dengar di Kalimantan dan Lampung, namun negara ini menjadi contoh yang sangat baik bagaimana Negara sangat cerdas untuk melindungi kedaulatan Negaranya apakah itu dari ekonomi, teknologi bahkan daerah-daerah perbatasan yang ada dipelosok pulau Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Di Malasyia perbedaan ras dan etnis diatur dalam  Undang-Undang. Penduduk Melayu asli memiliki hak yang lebih daripada etnis pendatang. Penduduk Melayu diberikan insentif yang lebih oleh pemerintah Malaysia walaupun pada prakteknya kesadaran akan keberagaman sudah diakui sampai sekarang.

Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki paham liberalisasi (kebebasan) dengan derajat kebebasan yang cukup tinggi. Derajat kebebasan yang justru menjadi bumerang bagi negara Indonesia ini adalah kebebasan yang terjadi di sektor ekonomi. Contoh paling nyata adalah begitu mudahnya asing untuk menguasai sektor-sektor ekonomi penting seperti perbankan, pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di sektor perbankan asing dapat menguasai 99% saham, di sektor pertanian asing dapat menguasai rantai suplai dari hulu ke hilir, di sektor perkebunan dan kehutanan asing dapat menguasai lahan-lahan hutan yang dengan mudah dikonversi menjadi lahan perkebunan dengan bantuan pemerintah daerah setempat. Siapa yang meraup untuk dari ini semua adalah asing. Banyak bank-bank swasta nasional yang saat ini dimiliki oleh asing seperti Malaysia dan Singapura. Banyak hutan dan kebun kita yang dikuasai oleh asing, seperti kebun-kebun sawit milik perusahaan-perusahaan Malaysia, dan Singapura.

Lalu kenapa kita menjadi bangsa yang begitu rela dijajah oleh Bangsa lain? Tidak lain dan tidak bukan mungkin karena gengsi ikut forum internasional seperti WTO, AFTA atau sejenisnya sementara di dalam negeri kekuatan ekonomi belum bisa mendorong pertumbuhan dan kemajuan.

Seperti kejadian di Lampung, kenapa pemerintah lebih melindungi asing daripada penduduknya sendiri. Tidak mungkin para petani itu mau merelakan tanahnya karena mereka adalah penduduk transmigrasi yang mata pencariannya berasal dari bertani. Apakah pemerintah hanya ingin melihat rakyatnya menjadi buruh di tanah Indonesia? Seharusnya tidak, rakyat kita seharusnya menjadi tuan di tanahnya sendiri. Pemerintah seharusnya justru melindungi rakyat dari kepentingan-kepentingan asing yang ingin merampas seluruh kekayaan negara kita.

Jadi bagaimana solusinya?
Inilah yang berat, karena sebenarnya diperlukan kearifan dan kebijakan pemimpin untuk menciptakan kemajuan di negeri ini. Semakin banyak pejabat yang memiliki kekuasaan dan selalu ingat kepada rakyatnya maka semakin maju negeri ini. Pro rakyat bukan Pro Pasar. Para wakil rakyat apakah itu di DPR/DPRD dan DPD bantulah rakyat untuk maju, lindungilah. Itulah ibadah yang paling mulia ketika anda menjadi pejabat ataupun wakil rakyat. Semoga semakin banyak Pejabat dan Wakil Rakyat Indonesia yang secara ikhlas bekerja untuk rakyat dan menjaga kedaulatan rakyat dan negaranya. Menjaga kedaulatan Negara bukan dari sekedar menjaga wilayah daratan dan laut, tetapi juga harga diri dan martabat Rakyat Indonesia di Indonesia dan Dunia.